Palu – Ketinggian air saat terjadi tsunami di Teluk Palu Sabtu (28/9) bervariasi tiga sampai lima meter. Hasil pengukuran ketinggian air ini dilakukan ahli tsunami dari Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung (ITB) Dr Eng Hamzah Latief.
Lokasi yang diukur ketinggian tsunami, antara lain, di bawah jembatan kuning Kota Palu yang ambruk. Di lokasi ini ketinggian air bisa diketahui dari sisa-sisa sampah yang menyangkut pada dinding tembok jembatan dengan ketinggian sampai lima meter. Di lokasi yang lain, ketinggian tsunami tiga sampai empat meter.
Hamzah meninjau beberapa lokasi kejadian tsunami dari mulai Pantai Watusepu, Buluri dan Talise bersama tim ITB, Pusat Studi Gempabumi Nasional (Pusgen), LIPI, dan Kementrian PUPR. Di titik tertinggi maupun titik terendah, tsunami menerjang pantai, menghantam permukiman, hingga gedung-gedung dan fasilitas umum.
Setelah menemui beberapa warga di lokasi tersebut, tim ini mendapatkan informasi tsunami terjadi dalam waktu yang singkat dan tiba-tiba setelah gempa. Tsunami menjalar ke segala arah, 6 menit kemudian tercatat di Pantoloan berdasarkan pasang surut dan juga 4 menit di daerah Watusepu.
Proses terjadinya tsunami, menurut Hamzah, diawali dengan strike slip Patahan Palu Koro, sehingga terjadi gempa. Akibat guncangan tersebut terjadi longsoran sedimen di bawah air laut.
Longsoran sedimen tersebut berasal dari sungai yang membawa sedimen yang diendapkan di muara sungai. Saat lempeng bergerak dan menimbulkan getaran, sedimen tersebut meluncur dan jatuh ke bawah, sehingga menimbulkan tsunami.
Hamzah mengatakan, Teluk palu memiliki kemiringan dari dangkal sampai ke kedalaman 500 meter. Karena faktor tersebut (longsoran sedimen) telah menambah kenaikan tinggi muka air laut. Namun, lokasi longsoran sedimen belum jelas dari Pantai Talise atau dari mana.
Menurut Hamzah, ada penurunan muka tanah, terutama di lokasi jembatan kuning. Hal yang sama terjadi di masjid terapung di pinggir laut yang sekarang terendam air.
Pergerakan sesar Palu Koro sekitar 44 milimeter per tahun. Banyak studi atau penelitian tentang sesar tersebut telah menjadi disertasi. Patahan Palu Koro ini termasuk paling aktif di Indonesia yang memotong wilayah Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara.
ITB memulai fokus penelitian sesar Palu Koro sejak 2012. Hasilnya telah disampaikan kepada Pemerintah Daerah setempat, BNPB dan staf ahli kepresidenan. Secara historis, penduduk setempat sudah mengetahui tentang gempa, tsunami dan likuefaksi dengan bahasa-bahasa lokal.*
Sumber: itb.ac.id
Komentar tentang post