Bali – Banyak kasus tumpahan minyak dan tabrakan terumbu karang yang terjadi belakangan ini di perairan laut Indonesia. Dalam menghadapi kasus seperti ini, pemerintah Indonesia masih kurang mampu untuk menangani kasus ini dengan standar internasional.
Karena itu, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman menggandeng International Matirime Organization (IMO) –organisasi yang berbasis di London. Untuk peningkatan kapasitas para pejabat dan masyarakat yang menangani kasus-kasus tumpahan minyak dan tabrakan karang diadakan National Workshop On IMO Liability and Compensations Conventions di legian Bali, 18-21 September 2018.
Asisten Deputi Bidang Keamanan dan Ketahanan Maritim, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Basilio Dias Araujo mengatakan, sebagai negara kepulauan, Indonesia harus menyadari bahwa kejadian serupa tidak boleh dibiarkan terus terjadi tanpa adanya penyelesaian. Penting bagi pemerintah Indonesia dan pihak-pihak yang terlibat untuk memiliki kemampuan yang baik dan standar secara internasional dalam menangani kasus-kasus tumpahan minyak dan tabrakan karang.
Kasus tumpahan minyak ini, seperti terjadi di perbatasan Indonesia dan Singapura. Kapal MV Alyarmouk berbendera Libya ditabrak kapal MV Sinar Kapuas berbendera Singapura pada 2 Januari 2015 di perairan Singapura dekat Pedra Branca.
Tabrakan ini mengakibatkan tumpahan minyak hingga ke pesisir wilayah Batam dan Bintan. Namun sampai hari ini, kasus tersebut belum diselesaikan. Masyarakat dibiarkan sendiri membawa kasus ini ke pengadilan di Singapura.
Kasus lain, menurut Basilio, tumpahan minyak Montara yang terjadi pada 2009. Sampai hari ini belum diselesaikan Pemerintah Indonesia.
Selanjutnya, kasus-kasus kapal menabrak terumbu karang. Seperti kasus kapal penumpang Caledonian Sky yang menabrak karang di daerah konservasi di Raja Ampat. Sampai saat ini belum ada penyelesaian.
Sehubungan dengan kasus-kasus tersebut yang belum dapat diselesaikan Pemerintah Indonesia, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman menggandeng IMO untuk memberikan bantuan teknis. Kegiatan ini, antara lain, dalam bentuk workshop.
Workshop melibatkan lebih dari 40 orang peserta. Terdiri dari pejabat dari kementerian terkait seperti Sekretariat Negara, Kementerian Perhubungan, Kementrin Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kejaksaan Agung. Kemudian, perusahaan minyak nasional dan swasta, seperti Pertamina dan Medco dan organisasi masyarakat, serta lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang advokasi hukum lingkungan.
Pihak IMO sendiri menbiayai kedatangan tiga orang tenaga ahli, baik dari bagian hukum IMO mau pun perwakilan dari perusahaan asuransi kapal (P&I Clubs) dan pengelola dana IOPC (International Oil Pollution Compensation Fund).
Indonesia setiap tahun membayar iuran kepada IMO. Karena itu, Indonesia harus berupaya memanfaatkan bantuan teknis untuk peningkatan kapasitas.
Basilio berharap, pemerintah Indonesia dapat belajar lebih banyak berkaitan dengan konvensi yang ada untuk menyelesaikan masalah di masa mendatang. Dengan ikut sertanya perwakilan IMO, serta International Oil Pollution Compensation Funds dapat mendorong pemerintah Indonesia meratifikasi rezim lain yang belum diratifikasi. Seperti Hazardous and Noxious Substance Convention (HNS Covention).*
Sumber: maritim.go.id
Komentar tentang post