Oleh: Prof Dr Ir Suradi Wijaya Saputra, MSc
HARI-HARI terakhir ini, lobster atau yang juga dikenal udang barong, menjadi obyek diskusi yang menarik, terutama setelah Menteri Kelautan dan Perikanan RI membuka wacana ekspor benih lobster dan pengembangan budidaya, dikaitkan dengan pendapatan nelayan, dan pendapatan sektor perikanan, serta aspek kelestariannya. Bagi para pengusaha perikanan, khususnya eksportir benih lobster dan pembudidaya lobster, dan bagi mereka yang kemarIn tidak setuju dengan kebijakan menteri Susi, dan tentu saja, bagi nelayan penangkap benih lobster, wacana tersebut adalah angin segar.
Betapa tidak, bibit lobster yang mungil itu ternyata mempunyai nilai dolar yang sangat tinggi. Mengapa menjadi sangat mahal, karena pembenihannya sampai dengan saat sekarang belum berhasil. Kegagalan selalu terjadi pada tahap mencapai filosoma. Di alam banyak peneliti (dan pengamat) mengatakan bahwa mortalitasnya juga sangat tinggi, konon survival rate hanya 0,1 persen atau 1 persen, bahkan ada yang mengatakan 0,01 persen. Saya sendiri belum pernah meneliti besarnya survival rate lobster di alam.
Siklus hidup
Untuk mengenal lebih jauh, mari kita lihat siklus hidup lobster. Lobster betina menjelang akhir periode pemijahan, akan menuju ke perairan laut dengan dasar yang berpasir, berlumpur atau berkarang, yang lebih dalam untuk memijah. Jumlah telur yang dikeluarkan berkisar antara belasan ribu sampai lebih dari 400.000 butir, tergantung jenis dan ukuran induk lobster. Telur menetas, dan berubah menjadi larva. Terdapat tiga tahapan stadia larva, yaitu “nauplisoma”, ”filosoma”, dan “puerulus”. Nauplisoma yang dikenal dengan larva filosoma awal.
Komentar tentang post