BAGI Robert Djoanda, membangun kepercayaan nelayan dengan Fair Trade (perdagangan yang adil) menjadi salah satu tantangan tersendiri. Mulanya, Robert mempertanyakan manfaat Fair Trade bagi perusahaan.
Robert adalah pengusaha perikanan, Direktur PT Harta Samudra. Seiring dengan berjalannya waktu, dengan Fair Trade ini, perusahaan lebih dekat dengan nelayan. Para nelayan ini membentuk komunitas.
Melalui kelompok-kelompok yang terbentuk, didiskusikan bersama keberlanjutan hasil tangkapan ikan. Begitu pula bagaimana mengumpulkan hasil tangkapan agar tetap terjaga mutu dan kualitasnya.
Ketua Komite Fair Trade Pulau Buru Provinsi Maluku, Rustam mengatakan, selama ini nelayan sangat minim dengan informasi. Terutama informasi harga dan bagaimana mutu ikan yang baik dan bisa diterima pasar internasional.
“Selama ini, nelayan miskin informasi,” katanya.
Fair Trade terbentuk pada 2014. Terjalin diskusi aktif antara pengumpul ikan (perusahaan) dengan nelayan.
Oktober 2014, hasil perikanan tuna handline di Maluku telah memperoleh sertifikasi. Ini sertifikasi pertama di dunia dengan menerapkan Fair Trade untuk perikanan tangkap.
Setelah di Maluku, pada 2017, Fair Trade ini diperkenalkan di Maluku Uitara. Program Fair Trade di Maluku Utara lebih fokus pada perikanan tuna sirip kuning. Lokasinya, di Pulau Bisa, Kabupaten Obi Utara, Halmahera Selatan.
Untuk berpartisipasi dalam Fair Trade, nelayan terlebih dahulu harus tergabung dalam Kelompok. Saat itu, telah ada empat kelompok nelayan yang terbentuk, yakni kelompok nelayan Tuna Jaya, Tanjung Tuna, Usaha Bersama dan Beringin Jaya.
Melalui Fair Trade, nelayan memperoleh harga yang sesuai dari setiap kilogram ikan yang mereka jual. Sekaligus memperoleh dana premium yang dibayarkan oleh konsumen yang membeli produk Fair Trade mereka.
Penghitungan dana premium adalah 0.3 USD dari setiap satu kilogram ikan dijual. Dana premium ini akan dikelola oleh Komite Fair Trade. Nantinya dana ini akan digunakan untuk berbagai kegiatan masyarakat.
Selanjutnya, 30 persen dana digunakan untuk kegiatan konservasi. Selebihnya, dimanfaatkan untuk mendukung kebutuhan nelayan, program sosial seperti pembangunan infrastruktur desa dan beasiswa bagi anak-anak nelayan.
Keberhasilan model pengelolaan tuna di Maluku ini, dapat dilihat dengan kedatangan Presiden Federasi Mikronesia, Peter M Christian ke Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Tantui. Mereka ingin belajar sistem pengelolaan ikan tuna di Maluku yang sudah berstandar internasional.
Kepala Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Ambon Ashari Syarief mengatakan, Mikronesia termasuk salah satu penghasil ikan tuna di dunia. Namun sistemnya belum seperti yang ada di Maluku. Kedatangan Presiden Mikronesia ke PPN Tantui beberapa waktu lalu, bukti sektor kelautan dan perikanan Indonesia sudah mampu bersaing secara global.
Baik kualitas dan standar mutu keamanannya. Pengelolaan ikan di PPN Tantui, membuktikan sistem pengelolaan ikan tuna di Maluku sudah berstandar internasional. Standar pasar dunia, yakni dengan menerapkan hazard analysis critical control point atau HACCP. Biasa disebut titik kontrol kritis analisis bahaya.
Negara Eropa mau membeli produk khususnya perikanan dengan melihat HACCP. Dalam kunjungannya ke Ambon, Presiden Federasi Mikronesia, tertarik menjalin kerjasama di bidang perikanan.
Peter mengunjungi Balai Budidaya Perikanan Laut di Waiheru dan Pelabuhan Nusantara (PPN) Tantui dan cold storage milik PT Harta Samudera.
Mikronesia merupakan negara federasi yang terletak di Samudera Pasifik atau sebelah Utara Pulau Papua. Negara seluas 158.1 kilometer persegi itu adalah salah satu negara terkecil di dunia dan terdiri dari empat negara bagian yakni Yap, Chuuk, Pohnpei dan Kosrae.*
Komentar tentang post