Darilaut – Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meminta ekspor benih lobster dihentikan.
Kebijakan ekspor benih lobster, jika berlangsung dalam skala masif mempercepat kepunahan, bukan hanya benihnya tetapi juga lobsternya. Hal ini bertentangan dengan ajaran Islam.
Karena kebijakan demikian berdampak buruk bagi para nelayan yang hidup pada generasi setelahnya yang tidak dapat menikmati lobster.
Kajian mendalam LBM PBNU dituangkan dalam Hasil Bahtsul Masail Lembaga Bahtsul Masail PBNU Nomor 06 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Ekspor Benih Lobster. Hasil kajian tertanggal 4 Agustus ditandatangani Ketua LBM PBNU KH. M. Nadjib Hassan dan Sekretaris H. Sarmidi Husna, MA.
Mengapa LBM PBNU mengambil kesimpulan ekspor benih bening lobster harus dihentikan? Bagaimana kajian tersebut dalam padangan syariat.
Berikut ini landasan pemikiran tentang kebijakan ekspor benih lobster.
Pertama, pemerintah merupakan representasi seluruh rakyat dalam mengelola dan mengatur negara. Karena itu pemerintah sebagai salah satu unsur penyelenggara negara dalam membuat semua kebijakannya harus berorientasi kepada cita kemaslahatan dan kesejahteraan rakyatnya.
Kedua, dalam Islam tidak ada larangan untuk memanfaatkan kekayaan alam yang dimiliki negara sepanjang untuk kemaslahatan rakyatnya. Kebijakan pemerintah membuka kran ekspor benih lobster pada dasarnya diperbolehkan apabila hal tersebut bisa mensejahterakan perekonomian para nelayan dan menambah devisa negara.
Namun apabila kebijakan pembukaan kran ekspor benih lobster justru akan menimbulkan mafsadah besar bagi keberlanjutan sumberdaya lobster, pendapatan negara dan generasi nelayan selanjutnya, maka kebijakan tersebut tidak bisa dibenarkan dalam pandangan syariat.
“Apabila berkumpul mashlahah dan mafsadah, maka jika memungkinkan tercapainya kemaslahatan dan tercegahnya kemafsadatan, kita harus melakukannya sebagai bentuk menaati perintah Allah dalam hal itu, karena firman Allah Swt: ‘Maka bertakwalah kalian kepada Allah sesuai kesanggupan kalian’ (at-Taghabun: 16).
Apabila tidak memungkinkan mencapai mashlahah dan menolak mafsadah, maka jika mafsadah lebih besar dari mashlahah, kita harus mencegah mafsadah tanpa memperdulikan hilangnya kemaslahatan.
Allah Swt berfirman: ‘Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah: ‘Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya’.’ Allah mengharamkan keduanya karena mafsadah keduanya lebih besar daripada manfaatnya.” (Izzuddin bin Abd as-Salam, Qawa`id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, (Bairut: Dar al-Ma’rifah, tt), h. 83).
Ketiga, pemanfaatan sumber daya alam yang berorientasi bukan hanya kesejahteraan generasi saat ini telah dicontohkan dengan sangat baik oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab, yang berhasil menaklukkan tanah as-Sawad dan al-Ahwaz.
Kaum muslimin pada saat itu meminta kepada beliau membagikan tanah-tanah itu kepada mereka. Namun Khalifah Umar mengambil kebijakan untuk tidak membagikan tanah tersebut kepada kaum muslimin yang turut serta dalam penaklukannya.
Tetapi justru membiarkannya tetap dikelola penduduk lokal, dengan catatan para penduduk berkewajiban membayar jizyah dan retribusi atas tanah tersebut. Sehingga dari pemasukan jizyah dan retribusi dapat digunakan untuk kepentingan kaum muslimin saat itu dan generasi setelahnya.
“Berkata Muhammad bin Ishaq dari az-Zuhri, ia berkata: ‘Khalifah Umar bin al-Khaththab ra telah menaklukkan seluruh wilayah Irak kecuali Khurasan dan Sind, dan menaklukkan seluruh wilayah Syam kecuali Mesir dan Afrika.
Adapun wilayah Khurasan dan Afrika ditaklukan pada masa kekhilafahan Utsman bin ‘Affan ra. Ketika Khalifah Umar bin al-Khaththab ra menaklukkan tanah as-Sawad dan al-Ahwaz kaum muslimin pada saat itu memintanya untuk membagikan kepada mereka tanah as-Sawad, penduduk al-Ahwaz dan beberapa kota yang telah ditaklukkan. Atas permintaan mereka, Khalifah Umar bin al-Khathtab ra meresponnya dengan mengatakan:
‘Lantas (jika dibagi, pent.) apa yang akan diberikan kepada kaum muslimin generasi setelah kalian?’ Karena itu Khalifah Umar bin al-Khaththab ra membiarkan tanah-tanah tersebut dan penduduknya. Tetapi beliau menetapkan kewajiban kepada mereka untuk membayar jizyah dan retribusi atas tanah tersebut.” (Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim, Kitab al-Kharaj, [Bairut: Dar al-Ma’rifah, 1399 H/1979 M], h. 28).
Keempat, masalah ekspor benih bening lobster dari sisi fikih masuk dalam ranah fikih ma`alat, yaitu fikih yang melihat dan membandingkan dampak dari perbuatan hukum, baik perbuatan tersebut selaras dengan syariat atau bertentangan dengannya. Sebab, mencermati dampak dari perbuatan hokum merupakan tujuan syariat yang harus diperhatikan sebelum menetapkan status hukum dari perbuatan tersebut. Hal ini sebagaimana dipahami dari apa yang kemukakan Imam Asy-Syatibi sebagai berikut:
“Mencermati dampak dari perbuatan hukum itu merupakan tujuan syariat yang harus diperhatikan, baik perbuatan itu sesuai atau bertetangan dengan syariat. Karena mujtahid tidak boleh menetapkan keputusan hukum atas suatu perbuatan mukallaf baik untuk memerintahkan (al-iqdam) atau untuk melarang (al-ihjam) kecuali setelah melihat dampak dari perbuatan hukum tersebut.
Terkadang sebuah perbuatan disyariatkan karena mengandung mashlahat atau menolak mafsadah, namun perbuatan tersebut memiliki dampak (ma`al) yang bertolak belakang dengan tujuannya. Dan terkadang juga suatu perbuatan tidak disyariatkan karena mengandung mafsadah atau menolak masalahah, namun perbuatan tersebut memilik dampak yang berbeda dengan tujuan tidak disyariatkannya.
Sehingga apabila yang pertama dikatakan mutlak disyariatkan, maka boleh jadi kemasalahatan yang didatangkan menggiring pada timbulnya kerusakan yang setara dengan kemaslahatan itu sendiri atau bahkan lebih besar.
Akibatnya dalam konteks ini tidak boleh mengatakan perbuatan itu secara mutlak disyariatkan. Begitu juga dengan yang kedua, apabila dikatakan secara mutlak tidak disyariatkan, maka boleh jadi tercegahnya kerusakan mengantarkan kepada kerusakan lain yang sama atau bahkan lebih besar, sehingga tidak sah menyatakan secara mutlak tidak disyariatkan.” (Abu Ishaq asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul asy-Syari’ah, [Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet ke-7, 1426 H/2005 M], juz, IV, h. 140)
Kelima, kebijakan ekspor benih lobster, jika berlangsung dalam skala masif sehingga mempercepat kepunahan, bukan hanya benihnya tetapi juga lobsternya, bertentangan dengan ajaran Islam. Karena kebijakan demikian berdampak buruk bagi para nelayan yang hidup pada genenarasi setelahnya yang tidak dapat menikmati lobster. Begitu juga akan berdampak pada pendapatan mereka.
Di samping itu, hal ini juga bertentangan dengan salah satu tujuan sustainable development (pembangun berkelanjutan) pemerintah Indonesia, yaitu melestarikan dan menggunakan samudera, lautan serta sumber daya laut secara berkelanjutan untuk pembangunan berkelanjutan.
Maka apabila pengambilan benih lobster dalam skala masif untuk diekspor berpotensi kuat mempercepat kepunahannya dan berakibat pada melahirkan mafsadah atau kerugian bagi generasi mendatang maka hukumnya tidak diperbolehkan. Bahkan ini masuk dalam kategori perusakan pada salah satu biota laut yang diharamkan.
“Allah Swt berfirman: ‘Telah tampak kerusakan di darat dan di laut …’ (ar-Rum: 41). Ibnu Abbas berkata: ‘Kerusakan di laut berarti punahnya biota laut sebab kesalahan-kesalahan manusia’.” (Ibnu ‘Athiyah, al-Muharrar al-Wajiz, [Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet ke-1, 1413 H/1993 M], juz, IX, h. 394).
Keenam, kebijakan ekspor benih lobster yang tertuang dalam Peraturan Menteri KKP Nomor 12/Permen-KP/2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp) di Wilayah Negara Republik Indonesia harus mempertimbangkan aspek maslahat dan mafsadahnya secara nyata muhaqqaqah. Hal ini sebagaimana keputusan Muktamar XXXII NU di Makassar tahun 2010 yang menegaskan bahwa dari segi muatannya, secara umum pembuatan peraturan perundang-undangan di Indonesia harus mengacu kepada kaidah:
“Kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya harus berdasarkan kepada kemaslahatan.” (Abdurrahman al-Suyuthi, Al-Asybah wa al-Nazha’ir, [Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1403 H], h. 121).*
Komentar tentang post