redaksi@darilaut.id
Minggu, 5 Februari 2023
26 °c
Jakarta
28 ° Sab
27 ° Ming
28 ° Sen
27 ° Sel
Dari Laut Indonesia
Tidak ada hasil
Lihat Semua Hasil
  • Masuk
  • Daftar
  • Home
  • Berita
    • Laporan Khusus
    • Pemilu dan Pemilihan
  • Eksplorasi
  • Sampah & Polusi
  • Tips & Trip
    • Biota Eksotis
    • Ide & Inovasi
    • Travel
  • Konservasi
  • Kajian
  • Kesehatan
  • Orca
    • Hiu Paus
  • Bisnis dan Investasi
  • Home
  • Berita
    • Laporan Khusus
    • Pemilu dan Pemilihan
  • Eksplorasi
  • Sampah & Polusi
  • Tips & Trip
    • Biota Eksotis
    • Ide & Inovasi
    • Travel
  • Konservasi
  • Kajian
  • Kesehatan
  • Orca
    • Hiu Paus
  • Bisnis dan Investasi
Tidak ada hasil
Lihat Semua Hasil
Dari Laut
Tidak ada hasil
Lihat Semua Hasil

Home » Konservasi » Model Asal-usul Ikan Karang

Model Asal-usul Ikan Karang

redaksi redaksi
31 Januari 2022
Kategori : Kajian, Konservasi
Terumbu karang

FOTO: DARILAUD.ID

Darilaut – Ilmuwan kelautan telah mengelompokkan model yang dapat mendukung keanekaragaman ikan yang tinggi di wilayah terumbu karang, khususnya kawasan Segitiga Terumbu Karang.

Terdapat sejumlah model yang telah uji sebagai berikut:

Pertama, Model Pusat Asal-usul (Center of Origin)

Model pusat asal-usul merupakan salah satu teori utama Darwin. Teori ini, semua spesies berasal dari satu tempat yang sama dan mengalami persebaran ke berbagai wilayah.

Salah satu faktor yang mendukung teori ini adalah mayoritas ikan karang memiliki fase larva, sehingga dapat tersebar dengan bebas ke berbagai tempat.

Menurut Briggs (1999), kawasan segitiga terumbu karang merupakan pusat asal-usul (center of origin) dengan tingkat spesiasi ikan karang yang tinggi. Spesies baru yang melimpah di wilayah segitiga terumbu karang kemudian mengalami dispersal sehingga tersebar di wilayah sekitarnya.

Dalam model pusat asal-usul digambarkan bahwa spesies yang berada di kawasan segitiga terumbu karang umumnya memiliki umur spesiasi yang lebih muda dibandingkan dengan spesiesnya yang berkerabat dekat (sister spesies) di luar wilayah ini, karena spesies tetuanya telah mengalami proses dipersal pada masa lalu.

Kedua, Model Pusat Tumpang Tindih (Center of Overlap Hypothesis)

Menyoroti pentingnya kawasan segitiga terumbu karang dalam membentuk biodiversitas baru melalui mekanisme spesiasi in-situ. Hal ini dibuktikan dengan melimpahnya spesies Gobiidae dan umur spesiasi spesies dalam famili Gobiidae yang masih tergolong baru/muda.

Model pusat tumpang tindih menegaskan tingginya diversitas spesies di segitiga terumbu karang sebagai hasil dari tumpang tindih, yaitu campuran fauna dari samudera Pasifik dan Hindia sebagai akibat dari proses mekanisme isolasi yang terjadi pada batas lautan Indo-Pasifik yang memisahkan kedua samudera tersebut pada saat terjadi fenomena penurunan air laut di masa lalu.

Menurut Gaither and Rocha (2013), mekanisme isolasi terjadi di wilayah paparan Sunda dan Sahul (Indonesia), Malaysia dan Australia Utara yang dikenal dengan wilayah batas Indo-Pasifik (Indo-Pasific Barrier).

Dalam model ini spesies ikan karang dari Pasifik dan Hindia mengalami isolasi dan spesiasi ketika terjadi penurunan permukaan air di masa lalu yang memisahkan kedua wilayah tersebut. Ketika massa air laut kembali naik, sister spesies yang terbentuk dan semula terpisah mulai terdispersi kembali dan mengalami tumpang tindih (overlap) di wilayah segitiga terumbu karang (Bellwood & Meyer, 2009).

Beberapa contoh penelitian yang mendukung model pusat tumpang tindih telah dilakukan oleh beberapa ahli dengan menggunakan studi dengan pendekatan genetika molekular/ filogeografi, yaitu pada Linckia laevigata.

Ketiga, Model Pusat Akumulasi (Center of Accumulation)

Model pusat akumulasi merupakan kebalikan dari pusat asal-usul (center of origin). Model ini lebih menekankan pada tingginya diversitas ikan pada kawasan segitiga terumbu karang sebagai hasil migrasi spesies yang telah mengalami spesiasi dari lokasi lain.

Peristiwa ini dapat disebabkan karena pola arus air laut dan angin yang cenderung mengarah ke arah segitiga terumbu karang.

Menurut Bowen et al., (2013) model pusat akumulasi dipengaruhi oleh wilayah sekitar bagian kawasan segitiga terumbu karang yang tidak termasuk dalam wilayah pusat biodiversitas atau biasa disebut zona periferal.

Menurut Craig (2010) zona periferal berperan sebagai eksportir/ kontributor terhadap diversitas biologis dan genetik ikan karang di segitiga terumbu karang. Beberapa contoh hasil penelitian yang mendukung teori pusat akumulasi adalah spesies Scarus rubroviolaceus dan Zebrasoma flavescens yang terdistribusi di perairan segitiga terumbu karang. Namun bukti data populasi genetik/ filogenetik menunjukkan bahwa larva dari spesies ini masuk dari wilayah Hawaii di masa lalu.

Keempat, Model Pusat Pertahanan (Center of Survival/refugia)

Hasil penelitian mengkonfirmasi bahwa distribusi yang tumpang tindih dari ikan karang yang berasal dari Samudera Pasifik dan Hindia berkontribusi terhadap pusat biodiversitas di kawasan segitiga terumbu karang.

Model pusat akumulasi merupakan kebalikan dari pusat asal-usul (center of origin). Model ini lebih menekankan pada tingginya diversitas ikan pada kawasan segitiga terumbu karang sebagai hasil migrasi spesies yang telah mengalami spesiasi dari lokasi lain.

Peristiwa ini dapat disebabkan karena pola arus air laut dan angin yang cenderung mengarah ke arah segitiga terumbu karang.

Model pusat akumulasi dipengaruhi oleh wilayah sekitar bagian kawasan segitiga terumbu karang yang tidak termasuk dalam wilayah pusat biodiversitas atau biasa disebut zona periferal.

Zona periferal berperan sebagai eksportir/ kontributor terhadap diversitas biologis dan genetik ikan karang di segitiga terumbu karang.

Beberapa contoh hasil penelitian yang mendukung teori pusat akumulasi adalah spesies Scarus rubroviolaceus dan Zebrasoma flavescens yang terdistribusi di perairan segitiga terumbu karang. Namun bukti data populasi genetik/ filogenetik menunjukkan bahwa larva dari spesies ini masuk dari wilayah Hawaii di masa lalu.

Model ini pertama kali diusulkan oleh Heck and McCoy (1978) yang menyatakan bahwa wilayah segitiga terumbu karang merupakan zona yang potensial untuk pertahanan. Model pertahanan, tingkat kepunahan spesies pada kawasan segitiga terumbu karang dipengaruhi oleh faktor kondisi habitat potensial dari wilayah terumbu karang yang besar.

Dalam hal ini, rendahnya diversitas spesies ikan karang yang jauh dari segitiga terumbu karang diakibatkan oleh tingkat kepunahan yang tinggi.

Kondisi habitat pada kawasan segitiga terumbu karang yang stabil selama proses perubahan geologi pada masa lalu berperan sebagai tempat perlindungan bagi spesies dari kepunahan.

Seperti diketahui bahwa kepunahan terjadi sebagai akibat hilangnya habitat dan sumber terbentuknya koloni baru pada saat terjadi ketidakstabilan area.

Kelima, The Mid Domain Effect (MDE)/null model

Berdasarkan model paleo habitat yang dibentuknya, penurunan masa air pada sekitar 2,6 juta tahun lalu telah memisahkan laut atlantik dan Indo-Pasifik dan selanjutnya proses fragmentasi (isolasi habitat menjadi bagian-bagian kecil) terjadi berkesinambungan selama proses glasial di era itu, sehingga terjadi banyak spesiasi seperti pada family ikan Pomacentridae, Chaetodontidae dan Labridae.

Kondisi habitat terumbu karang yang stabil di bagian Indo-Pasifik (Kawasan segitiga terumbu karang termasuk di dalamnnya) menyebabkan spesiasi yang lebih kontinyu tanpa kepunahan terhadap spesies tetuanya, daripada wilayah lain/ periferal yang kurang stabil.

Hal ini didukung oleh Evans et al., (2016) yang menekankan pentingnya habitat terumbu karang untuk mencegah terjadinya penurunan biodiversitas pada ikan karang.

Dalam model ini biodiversitas ikan yang terjadi di kawasan segitiga terumbu karang merupakan hasil dari fenomena ekologis yang stokastik (acak).

Menurut Belwood et al., (2005) memusatnya biodiversitas ikan karang merupakan penempatan geografis yang acak dan tidak memperhatikan mekanisme ekologis tertentu.

Proses dalam MDE secara sederhana dijelaskan oleh Colwell et al., (2004) bahwa apabila spesies diibaratkan sebagai titik-titik dalam zona geometris dan kemudian dikocok, maka hasilnya akan selalu berkumpul dalam satu titik yang memusat.

Pengunaan model ini dalam menjelaskan biodiversitas masih banyak dikritik karena dinilai tidak cukup untuk menjelaskan fenomena ekologis yang mempengaruhi biodiversitas dan sering tidak diperhitungkan dalam model MDE.

Sumber:

Fione Yukita Yalindua, jurnal Oseana, Volume 46, Nomor 1 Tahun 2021 dengan judul “Spesiasi dan Biogeografi Ikan di Kawasan Segitiga Terumbu Karang.”

Tags: BiodiversityBiogeografi ikanCoral Trianglekeanekaragaman hayati
Bagikan1Tweet1KirimKirim

Berlangganan untuk menerima notifikasi berita terbaru Dari Laut Indonesia

Berhenti Berlangganan

Related Posts

Ekosistem terumbu karang. FOTO: DARILAUT.ID
Berita

Ini 6 Alasan Mengapa Terumbu Karang Patut Dilindungi

18 Januari 2023
Salah satu desa di Kepulauan Togean. FOTO: DARILAUT.ID
Berita

Wisatawan yang Berkunjung di Kawasan Konservasi Meningkat

16 Januari 2023
Struktur permeabel dengan pertumbuhan kembali mangrove secara alami di pesisir Demak, Jawa Tengah. FOTO: WITTEVEEN+BOS/Building with Nature in Demak
Berita

PBB Mengakui 10 Inisiatif Perintis Memulihkan Alam, Salah Satunya di Indonesia

19 Desember 2022
Next Post
Gelombang tinggi

Waspada Kecepatan Angin dan Gelombang Tinggi di Awal Februari

Ilustrasi laut. FOTO: DARILAUT.ID

Adu Pengaruh di Laut Natuna Utara

Komentar tentang post

REKOMENDASI

Bank Indonesia Kerjasama dengan TNI Angkatan Laut Layani Kas di Pulau Terluar

Gubernur Papua Barat Bentuk Pokja Kawasan Konservasi Raja Ampat

Hebohkan Warga, Lumba-Lumba Putih China Muncul di Sungai

Cakalang dan Panitang Dominasi Tangkapan di Manado

Wisman Melalui Laut Naik 35,60 Persen

Kasus Montara Banyak Melahirkan Sarjana dan Pascasarjana

TERBARU

Pecahkan Rekor di Tata Surya, Jumlah Bulan Jupiter Menjadi 92

Kapal Kargo Tenggelam di Laut Jepang

Kapal Kargo Muat 6153 Kontainer Kandas di Selat Singapura

Bibit Siklon Tropis 95S dan 97S Mampu Tingkatkan Potensi Pertumbuhan Awan Hujan

Bibit Siklon Tropis 97S Berkembang di Selatan Bali, 95S di Selatan Jawa

Mata Ikan Tuna Mengandung Omega-3

TERPOPULER

  • Komet C/2022 E3 (ZTF) pada 26 Desember 2022 di Payson, Arizona, Amerika Serikat. Komet ini akan melintas dekat Bumi, termasuk Indonesia, awal Februari 2023. FOTO: CHRIS SCHUR

    Komet Hijau Menghampiri Bumi

    39 bagikan
    Bagikan 16 Tweet 10
  • Penduduk Miskin Gorontalo Bertambah

    9 bagikan
    Bagikan 4 Tweet 2
  • Mengapa Orca Tidak Memangsa Manusia di Alam Liar?

    34 bagikan
    Bagikan 14 Tweet 8
  • Langka, Gerhana Matahari Hybrid Akan Terjadi di Indonesia

    3 bagikan
    Bagikan 1 Tweet 1
  • Pemanasan Laut, Ini Dampak Bagi Ekosistem dan Manusia

    28 bagikan
    Bagikan 11 Tweet 7
  • Kuda Laut, Ikan yang Dipercaya Dapat Menyembuhkan Berbagai Penyakit

    234 bagikan
    Bagikan 99 Tweet 56
  • Teori Spesiasi Geografis Ikan Karang

    29 bagikan
    Bagikan 12 Tweet 7
  • Tentang
  • Redaksi
  • Disclaimer
  • Terms of Use
  • Kebijakan Privasi
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
Email : redaksi@darilaut.id

© 2018 - 2022 PT Dari Laut Indonesia

Tidak ada hasil
Lihat Semua Hasil
  • Home
  • Berita
  • Pemilu dan Pemilihan
  • Laporan Khusus
  • Eksplorasi
  • Sampah & Polusi
  • Tips & Trip
  • Biota Eksotis
  • Ide & Inovasi
  • Konservasi
  • Kajian
  • Kesehatan
  • Orca
  • Hiu Paus
  • Bisnis dan Investasi
  • Travel

© 2018 - 2022 PT Dari Laut Indonesia

Selamat Datang Kembali

Masuk dengan Facebook
Masuk dengan Google+
Atau

Masuk Akun

Lupa Password? Mendaftar

Buat Akun Baru

Mendaftar dengan Facebook
Mendaftar dengan Google+
Atau

Isi formulir di bawah ini untuk mendaftar

*Dengan mendaftar di situs kami, anda setuju dengan Syarat & Ketentuan and Kebijakan Privasi.
Isi semua yang diperlukan Masuk

Ambil password

Masukan username atau email untuk mereset password

Masuk