Darilaut – Ilmuwan kelautan telah mengelompokkan model yang dapat mendukung keanekaragaman ikan yang tinggi di wilayah terumbu karang, khususnya kawasan Segitiga Terumbu Karang.
Terdapat sejumlah model yang telah uji sebagai berikut:
Pertama, Model Pusat Asal-usul (Center of Origin)
Model pusat asal-usul merupakan salah satu teori utama Darwin. Teori ini, semua spesies berasal dari satu tempat yang sama dan mengalami persebaran ke berbagai wilayah.
Salah satu faktor yang mendukung teori ini adalah mayoritas ikan karang memiliki fase larva, sehingga dapat tersebar dengan bebas ke berbagai tempat.
Menurut Briggs (1999), kawasan segitiga terumbu karang merupakan pusat asal-usul (center of origin) dengan tingkat spesiasi ikan karang yang tinggi. Spesies baru yang melimpah di wilayah segitiga terumbu karang kemudian mengalami dispersal sehingga tersebar di wilayah sekitarnya.
Dalam model pusat asal-usul digambarkan bahwa spesies yang berada di kawasan segitiga terumbu karang umumnya memiliki umur spesiasi yang lebih muda dibandingkan dengan spesiesnya yang berkerabat dekat (sister spesies) di luar wilayah ini, karena spesies tetuanya telah mengalami proses dipersal pada masa lalu.
Kedua, Model Pusat Tumpang Tindih (Center of Overlap Hypothesis)
Menyoroti pentingnya kawasan segitiga terumbu karang dalam membentuk biodiversitas baru melalui mekanisme spesiasi in-situ. Hal ini dibuktikan dengan melimpahnya spesies Gobiidae dan umur spesiasi spesies dalam famili Gobiidae yang masih tergolong baru/muda.
Model pusat tumpang tindih menegaskan tingginya diversitas spesies di segitiga terumbu karang sebagai hasil dari tumpang tindih, yaitu campuran fauna dari samudera Pasifik dan Hindia sebagai akibat dari proses mekanisme isolasi yang terjadi pada batas lautan Indo-Pasifik yang memisahkan kedua samudera tersebut pada saat terjadi fenomena penurunan air laut di masa lalu.
Menurut Gaither and Rocha (2013), mekanisme isolasi terjadi di wilayah paparan Sunda dan Sahul (Indonesia), Malaysia dan Australia Utara yang dikenal dengan wilayah batas Indo-Pasifik (Indo-Pasific Barrier).
Dalam model ini spesies ikan karang dari Pasifik dan Hindia mengalami isolasi dan spesiasi ketika terjadi penurunan permukaan air di masa lalu yang memisahkan kedua wilayah tersebut. Ketika massa air laut kembali naik, sister spesies yang terbentuk dan semula terpisah mulai terdispersi kembali dan mengalami tumpang tindih (overlap) di wilayah segitiga terumbu karang (Bellwood & Meyer, 2009).
Beberapa contoh penelitian yang mendukung model pusat tumpang tindih telah dilakukan oleh beberapa ahli dengan menggunakan studi dengan pendekatan genetika molekular/ filogeografi, yaitu pada Linckia laevigata.
Ketiga, Model Pusat Akumulasi (Center of Accumulation)
Model pusat akumulasi merupakan kebalikan dari pusat asal-usul (center of origin). Model ini lebih menekankan pada tingginya diversitas ikan pada kawasan segitiga terumbu karang sebagai hasil migrasi spesies yang telah mengalami spesiasi dari lokasi lain.
Peristiwa ini dapat disebabkan karena pola arus air laut dan angin yang cenderung mengarah ke arah segitiga terumbu karang.
Menurut Bowen et al., (2013) model pusat akumulasi dipengaruhi oleh wilayah sekitar bagian kawasan segitiga terumbu karang yang tidak termasuk dalam wilayah pusat biodiversitas atau biasa disebut zona periferal.
Menurut Craig (2010) zona periferal berperan sebagai eksportir/ kontributor terhadap diversitas biologis dan genetik ikan karang di segitiga terumbu karang. Beberapa contoh hasil penelitian yang mendukung teori pusat akumulasi adalah spesies Scarus rubroviolaceus dan Zebrasoma flavescens yang terdistribusi di perairan segitiga terumbu karang. Namun bukti data populasi genetik/ filogenetik menunjukkan bahwa larva dari spesies ini masuk dari wilayah Hawaii di masa lalu.
Keempat, Model Pusat Pertahanan (Center of Survival/refugia)
Hasil penelitian mengkonfirmasi bahwa distribusi yang tumpang tindih dari ikan karang yang berasal dari Samudera Pasifik dan Hindia berkontribusi terhadap pusat biodiversitas di kawasan segitiga terumbu karang.
Model pusat akumulasi merupakan kebalikan dari pusat asal-usul (center of origin). Model ini lebih menekankan pada tingginya diversitas ikan pada kawasan segitiga terumbu karang sebagai hasil migrasi spesies yang telah mengalami spesiasi dari lokasi lain.
Peristiwa ini dapat disebabkan karena pola arus air laut dan angin yang cenderung mengarah ke arah segitiga terumbu karang.
Model pusat akumulasi dipengaruhi oleh wilayah sekitar bagian kawasan segitiga terumbu karang yang tidak termasuk dalam wilayah pusat biodiversitas atau biasa disebut zona periferal.
Zona periferal berperan sebagai eksportir/ kontributor terhadap diversitas biologis dan genetik ikan karang di segitiga terumbu karang.
Beberapa contoh hasil penelitian yang mendukung teori pusat akumulasi adalah spesies Scarus rubroviolaceus dan Zebrasoma flavescens yang terdistribusi di perairan segitiga terumbu karang. Namun bukti data populasi genetik/ filogenetik menunjukkan bahwa larva dari spesies ini masuk dari wilayah Hawaii di masa lalu.
Model ini pertama kali diusulkan oleh Heck and McCoy (1978) yang menyatakan bahwa wilayah segitiga terumbu karang merupakan zona yang potensial untuk pertahanan. Model pertahanan, tingkat kepunahan spesies pada kawasan segitiga terumbu karang dipengaruhi oleh faktor kondisi habitat potensial dari wilayah terumbu karang yang besar.
Dalam hal ini, rendahnya diversitas spesies ikan karang yang jauh dari segitiga terumbu karang diakibatkan oleh tingkat kepunahan yang tinggi.
Kondisi habitat pada kawasan segitiga terumbu karang yang stabil selama proses perubahan geologi pada masa lalu berperan sebagai tempat perlindungan bagi spesies dari kepunahan.
Seperti diketahui bahwa kepunahan terjadi sebagai akibat hilangnya habitat dan sumber terbentuknya koloni baru pada saat terjadi ketidakstabilan area.
Kelima, The Mid Domain Effect (MDE)/null model
Berdasarkan model paleo habitat yang dibentuknya, penurunan masa air pada sekitar 2,6 juta tahun lalu telah memisahkan laut atlantik dan Indo-Pasifik dan selanjutnya proses fragmentasi (isolasi habitat menjadi bagian-bagian kecil) terjadi berkesinambungan selama proses glasial di era itu, sehingga terjadi banyak spesiasi seperti pada family ikan Pomacentridae, Chaetodontidae dan Labridae.
Kondisi habitat terumbu karang yang stabil di bagian Indo-Pasifik (Kawasan segitiga terumbu karang termasuk di dalamnnya) menyebabkan spesiasi yang lebih kontinyu tanpa kepunahan terhadap spesies tetuanya, daripada wilayah lain/ periferal yang kurang stabil.
Hal ini didukung oleh Evans et al., (2016) yang menekankan pentingnya habitat terumbu karang untuk mencegah terjadinya penurunan biodiversitas pada ikan karang.
Dalam model ini biodiversitas ikan yang terjadi di kawasan segitiga terumbu karang merupakan hasil dari fenomena ekologis yang stokastik (acak).
Menurut Belwood et al., (2005) memusatnya biodiversitas ikan karang merupakan penempatan geografis yang acak dan tidak memperhatikan mekanisme ekologis tertentu.
Proses dalam MDE secara sederhana dijelaskan oleh Colwell et al., (2004) bahwa apabila spesies diibaratkan sebagai titik-titik dalam zona geometris dan kemudian dikocok, maka hasilnya akan selalu berkumpul dalam satu titik yang memusat.
Pengunaan model ini dalam menjelaskan biodiversitas masih banyak dikritik karena dinilai tidak cukup untuk menjelaskan fenomena ekologis yang mempengaruhi biodiversitas dan sering tidak diperhitungkan dalam model MDE.
Sumber:
Fione Yukita Yalindua, jurnal Oseana, Volume 46, Nomor 1 Tahun 2021 dengan judul “Spesiasi dan Biogeografi Ikan di Kawasan Segitiga Terumbu Karang.”
Komentar tentang post