Darilaut – Penambahan luas wilayah hutan Bakiriang tidak serta merta bertambah pula maleo di habitatnya.
“Yang terjadi maleo berkurang seiring dengan berbagai kepentingan untuk menguasai Suaka Margasatwa Bakiriang,” kata Peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Manado, Pristiwanto, Kamis (11/6).
Berdasarkan hasil penelitian Pristiwanto, hutan Bakiriang menjadi kawasan Suaka Margasatwa sejak tahun 1936. Kawasan ini ditetapkan oleh Raja Banggai saat itu menjadi daerah (kawasan) yang perlu dilindungi berdasarkan Surat Keputusan Raja Banggai No. 4 tahun 1936 dengan luas 3.500 Ha.
Batas kawasan mulai dari kompleks pengunungan Batui memanjang ke selatan, hingga pantai yang diapit oleh dua kampung masing-masing Moilong dan Sinorang.
Munculnya berbagai persoalan di Suaka Margasatwa Bakiriang dimulai tahun 1973. Saat itu, ada pembukaan jalan Luwuk-Toili menuju lahan transmigrasi.
Lintasan jalan menuju Toili melalui lahan kawasan Bakiriang menjadi ramai dengan hadirnya kendaraan yang hilir mudik Luwuk-Toili.
Di pasir panjang Bakiriang tempat siklus untuk maleo bertelur menjadi terganggu. Maleo terusik di habitatnya dengan maraknya perambahan kawasan hutan untuk perkebunan dan pemukiman.
Lebih parah dengan kehadiran perkebunan kelapa sawit. Selain itu, investasi perusahaan pertambangan di sekitar Suaka Margasatwa Bakiriang.
Komentar tentang post