Darilaut – Adanya penurunan drastis populasi ikan Napoleon di berbagai tempat menyebabkan negara-negara anggota CITES menyepakati memasukkan jenis ini ke dalam Appendiks II pada CoP-13 (Conference of the Parties) CITES tahun 2004 di Bangkok.
Dengan ditetapkannya ikan Napoleon masuk ke dalam daftar Apendiks II CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora), maka perdagangan ikan Napoleon secara terbatas masih diperbolehkan melalui penerapan sistem kuota yang membatasi pintu ekspor dan jumlah ikan yang boleh diekspor per tahunnya (Sadovy & Suharti, 2008).
Indonesia meratifikasi konvensi CITES tersebut melalui Keputusan Presiden No. 43 Tahun 1978, sehingga Indonesia wajib memenuhi ketentuan yang telah disepakati bersama.
Menurut peneliti dari Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Ayuningtyas Indrawati & Suparmo, dalam Jurnal Oseana, Volume 46, Nomor 2 Tahun 2021, sebagai negara pengekspor terbesar ikan Napoleon di dunia, Indonesia harus menunjukkan bahwa pemanenan terhadap ikan Napoleon tidak mengganggu populasinya di alam.
Oleh karena itu, kuota perdagangan ikan Napoleon ditetapkan di bawah tanggung jawab Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) selaku lembaga pemegang otoritas di bidang keilmuan (Scientific Authority/SA) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebagai otoritas pengelola jenis Ikan (Management Authority/MA), sebelumnya otoritas pengelola tersebut adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) (KKP News, 2020).
Komentar tentang post