INDONESIA termasuk daerah potensial bencana tsunami. Semestinya, dengan kondisi daerah kepulauan yang telah ditandai potensial terjadi bencana, peristiwa gempa dan tsunami, sudah menjadi bagian keseharian untuk mitigasi.
Upaya sejumlah ilmuwan kelautan dan pemerintah untuk mengurangi kerugian sudah dilakukan empat dekade lalu.
Pada 25 Oktober 1977, telah dibentuk Kelompok Kerja Tsunami. Kelompok Kerja aktif berupaya mengurangi kerugian jiwa dan materi akibat tsunami.
Kelompok ini menyusun sistem peringatan dini (early warning system) bahaya tsunami di Indonesia kerjasama internasional.
Setelah tsunami yang berpusat di Aceh, menurut peneliti Kementerian Kelautan dan Perikanan Dr Ing Widodo S Pranowo, Indonesia dan Jerman membangun sistem peringatan dini tsunami. Perangkat teknis sudah dipasang di beberapa perairan Indonesia.
Perangkat teknisnya sumbangan Jerman kepada Indonesia, dengan nilai 40 juta Euro. Sistem ini dikenal sebagai GITEWS (German Indonesian Tsunami Early Warning System).
Di awal pengembangan sistem ini, kendala yang dihadapi, Terdapat komponen alat yang hilang. Ini yang menyebabkan sistem ini belum berjalan maksimal. Pada 2007, sistem ini sudah bisa dijalankan ketika terjadi gempa di Bengkulu.
Pada 2008, dikembangkan menjadi InaTews (Indonesia Tsunami Early Warning System).
Seringkali, setelah terjadi bencana, seperti gempa bumi dan tsunami, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menjadi sasaran. Apalagi, bila musibah ini banyak menelan korban jiwa maupun kerugian materi.
Menurut Widodo, ketika terjadi gempa disertai dengan peringatan tsunami, BMKG hanya sebatas memberikan informasi saja. “Evakuasi bukan BMKG,” ujar Widodo.
Otoritas untuk menyampaikan evakuasi berada di pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota, seperti Gubernur, Bupati dan Walikota.
Daerah potensial tsunami, menurut Widodo, mulai dari barat Sumatera, selatan Jawa, selatan Nusa Tenggara, utara Papua, Halmahera, Laut Banda, Selat Makassar, Teluk tomini. “Laut Banda pertemuan tiga lempeng,” katanya.*
Komentar tentang post